Monday, March 31, 2014

Pemimpin dan Secangkir Kopi

Pemimpin dan Secangkir Kopi
Oleh Rahmat Arif Febriyanto


Resep Seduhan Secangkir Kopi
Bicara mengenai kopi, sudah berapa gelas kopi yang pernah kita nikmati? Apakah setiap cangkirnya beraroma sama? Tentu saja tidak. Setiap seduhan kopi memiliki cita rasanya sendiri, tergantung dari tangan sang barista, selera penikmat, hingga takaran kopi, gula atau cream yang tertera dalam resep. Sama halnya dengan kisah kopi yang berawal dari dapur racikan, manusia juga berawal dari takdir tuhan yang sudah jauh-jauh hari ditulis dan ditentukan.
Sampai akhirnya mulai bernafas di dunia, manusia juga seperti secangkir kopi yang tujuannya adalah cita rasa dalam mulut. Manusia lahir untuk sebuah karena; tugas, tanggung jawab, hak, kekurangan dan keistimewaan. Sering juga kita dengar pepatah lama yang mengatakan bahwa manusia terlahir sebagai seorang pemimpin, setidaknya untuk dirinya sendiri. Memang benar. Masih sama seperti kopi yang memiliki cangkir untuk porsinya, manusia juga memiliki porsinya untuk memimpin. Porsi ini sebenarnya adalah diri manusia itu sendiri. Manusia memiliki takaran kopi, gula atau cream-nya masing-masing yang sering disebut karakter. Karakter inilah yang membantu manusia untuk menjalankan porsi kepemimpinannya menuju keberhasilan dan benar-benar menjadi cangkir yang mampu mengantarkan seduhan kopi untuk dihidangkan sampai dinikmati.

Intervensi Gula terhadap Kopi atau Sebaliknya
                Manusia memang mirip dengan seduhan kopi yang biasa kita nikmati dirumah. Ada kopi, ada gula. Kopinya  pahit, gulanya manis. Bisa bayangkan jika kita menyeduh kopi saja atau menyeduh gula saja? Akan menjadi terlau pahit atau terlalu manis, karena itulah keduanya diseduh secara bersamaan agar saling mengimbangi, melengkapi dan berbagi. Begitu pula sifat dasar manusia, ada yang kurang sehingga menimbulkan rasa pahit dan ada yang lebih sehingga memunculkan rasa manis. Memang lebih-kurang itu biasa dan sebenarnya semua manusia istimewa, namun sayangnya tidak jarang dari kita yang masih tidak sadar bahwa kita istimewa. Coba saja, kita kadang mengeluh, merasa tidak beruntung, bahkan kadang mengutuk diri sendiri hanya untuk hal yang belum bisa kita lakukan. Pemimpin juga begitu. Punya kopi dan gula dalam cangkirnya yang jika tidak diseduh dengan baik akan terlalu pahit atau manis. Pemimpin memang butuh seduhan itu. Aspek-aspek kepemimpinan dalam diri seorang pemimpin perlu diseimbangkan. Pemimpin harus mampu membuat kekurangan dalam dirinya sebagai tantangan untuk ditklukkan bukan malah menjadi hal yang menghalangi kepemimpinannya. Sebaliknya juga begitu, pemimpin harus menggunakan kelebihannya sebagai kekuatan untuk memimpin dengan baik bukan malah membuatnya semakin mendongak kelangit dan menyombong. Baru setelah seorang pemimpin mengenal dirinya, mengetauhi lebih dan kurangnya, pemimpin mulai merangkul masyarakatnya dan menyeimbangkan lingkungannya pula.
                Kopi juga memiliki tren yang diciptakan oleh zamannya. Kopi dari masa ke masa sudah pasti berbeda. Jika dari zaman nenek-kakek kita dulu cuman tertera kopi, gula dan air hangat dalam resep, kopi “hari ini” sudah mengenal cream. Cream yang memunculkan aroma, rasa, serta sensasi berbeda. Begitu pula pemimpin. Dari masa ke masa, pemimpin harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, baik itu progress maupun regress.
Perkembangan zaman beserta segala atributnya tentu menjadi tantangan untuk setiap pemimpin dan seorang pemimpin harus memiliki strategi, nilai, serta karakter yang kuat untuk menghadapinya. Seorang pemimpin harus mampu memproyeksikan dirinya untuk perkembangan zaman yang semakin maju (progress), zaman yang menuntut seorang pemimpi cerdas. Pemimpin yang haus akan pengetahuan, berjiwa sosial tinggi, menjadi panutan dan visioner atau mampu membangun bangsanya menjadi bangsa yang maju dan sejahtera bukan hanya untuk hari ini atau besok tapi juga untuk 5-10 tahun kedepan.
Seorang pemimpin juga harus tahan banting dengan kemunduran zaman di masa serba modern ini. Memang aneh jika diingat bahwa kita tinggal  di masa yang sudah canggih tapi masih banyak celah yang membuat zaman ini mundur (regress), tapi inilah adanya. Kemunduran yang akan banyak menantang seorang pemimpin di kemunduran zaman dalam masa yang maju ini adalah krisis moral dan kemrosotan karakter bangsa. Selayaknya secangkir kopi hangat yang terlalu banyak kopi. Terlalu pahit dan hitam untuk dinikmati. Memang seorang pemimpin akan mendapatkan kemudahan akses informasi dan pengetahuan untuk meningkatkan kualitas diri, namun yang kurang adalah akses mempertahankan karakter pemimpin bangsa, pemimpin yang adil, jujur, teladan, dan mengayomi. Nantinya tangan-tangan pahit itu akan muncul umumnya akan berlabel rupiah atau kursi kekuasaan. Money politics dan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) akan mencoba keteguhan kualitas seorang pemimpin. Tentu saja seorang pemimpin yang baik tidak akan mengikuti arus kemunduran zaman namun mendorong masyarakatnya menuju kemajuan zaman.
Gula dan kopi memang tidak terpisahkan dalam secnagkir kopi. Begitu pula kelebihan dan kekurangan manusia dalam diri seorang pemimpin. Dua sendok makan kopi bubuk dengan satu sendok gula pasir akan terasa pas untuk sebagian penikmat kopi. Disisi lain, sebagian lainnya merasa ada perlu yang ditambah atau dikurangi. Begitulah manusia, berbeda satu sama lain itu wajar dan tidak pernah puas itu manusiawi. Begitu pula para pemimpin. Berbeda-beda tapi memiliki satu tujuan yaitu memimpin. Memimpin dengan sendokan-sendokan kekurangan dan kelebihannya sebagai manusia dan mewadahi itu menjadi jiwanya, jiwa memimpin dan juga harus mau jika dipimpin (diberi nasihat, kritik dan saran). Tidak terlalu banyak hingga kepemimpinannya meluber atau terlalu sedikit hingga kepemimpinannya begitu lemah. Cukup menjadi pemimpin yang dibutuhkan oleh masyaratakatnya, pemimpin yang mengerti lingkungannya, dan pemimpin yang tidak lupa esensi memimpin dan jati dirinya.

Pemimpin dan Secangkir Kopi di Sore Hari

                Kopi dengan takdirnya untuk dinikmati. Manusia dengan takdirnya untuk memimpin.  Setiap kopi berbeda dengan cita rasanya tapi tmemiliki tugas yang sama, menciptakan aroma dalam selera. Setiap pemimpin juga berbeda dengan kepribadiannya tapi memiliki tugas yang sama, menciptakan lingkungan yang sejahtera.
                Tidak perlu menjadi pemimpin yang sama dengan oemimpin ini atau itu, tapi mari menjadi calon-calon pemimpin yang nguwongke, memanusiakan-manusia. Tidak hanya pusing dengan kurang diri-sendiri, tidak hanya bingung dengan kepentingannya sendiri, tapi juga memikirkan orang lain dan bersama-sama membangun masa depan yang bahagia dan indah, seindah sore hari dengan hiasan-hiasan optimisme dan keyakinan.
                Jika memang secangkir kopi di sore hari itu nikmat, begitu pula kita, mari bersama-sama mempersiapkan diri sebagai pemimpin masa depan untuk masyarakat yang bermartabat.

Tuesday, March 18, 2014

It’s a Thumb, not a Forefinger

It’s a Thumb, not a Forefinger
By : Rahmat Arif Febriyanto

“If your action inspires others to dream more,
learn more, do more, and become more,
you are a leader.”
- John Quincy Adams

            We all know that each of our hands completed by five fingers which have different usage. These differences lead each finger to represents its characters. Firstly, thumb represents kindness and praise. Forefinger represents order and command. Middle finger represents vanity and snobbery. Third finger represents loyalty and faithfulness. The rest, little finger represents sorry and promises. All of the finger’s characters are naturally appear and exist in human’s personality as they born and grow. This caused i, you, he, she, we, and they are different. Likewise for a leader. Every leader has their own character and actually they choose by themselves the finger’s characters that they are going to be. Then, as a future leader which character we should have? And which character we should eliminate from ourselves? Well we decide.
                If we look at the five fingers and remember, there are two finger that we mostly used to define something. forefinger and Thumb. These two fingers also represents two types of leader. A real leader and something similiar with leader called boss. As a future leaders we have to know which character is best for us to be a great future leader. First we have to define leader. What a leader really do? Whether a leader  only sit in his/her chair and say “go” or together with his/her team and say “let’s go”. By this way, we will know which finger we should be.  As we know, forefinger represents order and commands, so that a forefingerman, they will use their authority to give instruction. It’s not bad, but if as a leader we mostly use this character, we will break the essence of leading and it’s not good for our organization. If we only confuse our minds with instructions for our people, we will be a Miss/Mr-blame-it-on-the-world as we only know the work is done and hate the mistakes made by our people who did the work. Forefingerman mostly think about themselves and forget that they have to lead their people and not to blame them.
                Otherwise, thumb represents kindness and praise. These two characters have to be owned by a leader. Humble, enthusiasm, spirit and ideas are also included in thumb character. It brings the postive atmosphere to the organization and help the people inside it do the works with pleasure. By this way, success will be in our hand. For the fact, a thumbman, Joko Widodo, Governor of Jakarta successfully applied the thumb character and bring progress, also improvement in Jakarta. One of his success as a leader is his idea that solved the cadger problem in Jakarta by relocate the place of the traffic and help cadger to improve and expand their business with the program, Kaki Lima Night Market. He also supported by his down-to-earth personality to get closer with the society. This shows how a leader involved with the works and used the authority wisely by persuade people for development.
                After all, we can decide which finger we are going to be and place ourselves as a great future leader like a thumb and avoid the self-center character in forefinger. Great leaders are those who used their authority to change problems become power, bring their people to the goal, and at the end say “yes we made it!”. They are also not respected because his position, but because they are needed and trusted by their surroundings. So let’s strengthen the thumb character in us and prepare ourselves to be a great future leader.



Thursday, March 13, 2014

Lalu Membisu



Rindu itu selalu. 
Jatuh juga terkadang perlu, supaya ingat apa yang sudah berlalu.

Bicara tentang kemarin sepertinya aku sudah lupa rasanya kemarin. Ingin mengulang kemarin. Kemarin-ku dan hari-ini-ku sudah layaknya dua medan magnet yang saling berlawanan. Sudah sangat berkebalikan. Bahkan sudah seperti dua arah proyeksi bearing yang sama-sama berawal dari utara tapi melalui jalan yang berbeda. Dari sini aku mulai percaya bahwa hidup memang beroda atau hidup itu roda dan kita tumpangannya, lalu siapa pengendaranya? Menurutku pengendaranya adalah kisah. Kisah apa saja, dimana saja, bagaimana saja, terserah....

Sudah lebih setahun yang lalu terakhir aku benar-benar merasa apa yang orang sering sebut utuh. Aku sudah tahu bahwa manusia sukar merasa cukup, puas apalagi utuh. Aku yag dulu memang ber-utuh tinggi, utuh-ku dulu sudah sempat menyinggung batas atas kuantitas puas horizontal spesiesku. Tapi kali ini berbeda, sederhana, tapi sesederhana itu yang malah membuatku bercela lebih besar dari aku yang dulu.

Aku rindu, ingin ketemu, bicara, cerita, bahkan memeluk. Langit-ku yang dulu. Tidak pernah kelabu. Selalu terima apapun yang aku bekaskan di ufuknya. Sungguh langit yang istimewa, apa saja tetap indah. Baik itu jingga senja saat aku sedang gembira, gemilang bulan yang hampir redup saat aku gundah ataupun kumulonimbus saat aku murka. Sayang, dia, langit-ku sudah tak pernah datang di hari-hari-ku. Sudah tersapu hujan disertai gemuruh yang membuat langit-ku lupa cara membentang di atas ubun-ubunku. Sejuta langit untuk mengganti pun, tidak akan sama. Secerah apa-pun, seteduh apa-pun tidak akan membuatku merasa. Aku tetap rindu langit-ku. Tapi aku hargai langit sore yang datang senja lalu untuk membiaskan sinar sedih-ku. Hanya saja tak semudah itu tumpangan rapuh sepertiku meng-iya-kan hadir yang baru.

...entah berapa sore lagi harus aku lewati untuk benar-benar membungkus kemarin-ku yang beroda utuh dan mulai memutar roda hari-ini-ku. Entah sampai dimana nanti, entah bagaimana nanti, aku hanya berharap pembuat kisahku tahu aku lupa rasanya utuh, ingin memperbaiki roda-ku dan rindu langit-ku.
Hanya rindu Langit-ku. Ibu